BAB I
PENDAHULUAN
Kuda lumping juga disebut jaran kepang atau jathilan adalah tarian tradisional Jawa
menampilkan sekelompok prajurit tengah menunggang kuda . Tari Jaran Kepang merupakan tarian rakyat yang banyak
dikenal oleh masyarakat di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kuda
lumping adalah seni tari yang dimainkan dengan properti berupa kuda tiruan,
yang terbuat dari anyaman bambu atau kepang.
Berdasarkan
persiapan pementasan seni Tari Kuda Lumping , penulis mengambil penelitian Tari
Kuda Lumping di daerah Bondowoso. Kesenian tradisional Kuda Lumping sangat
memukau pernah juga dipentaskan di setiap acara di Bondowoso. Memang sepintas
Pementasan Kuda Lumping Bondowoso ini tidak berbeda dengan Kuda Lumping di
daerah lain, sama- sama terdiri dari penari, penggendang dan sintren (sinden).
Maka dari
itu penulis tertarik untuk meneliti persiapan pementasan Kesenian Kuda Lumping
untuk memenuhi tugas mata kuliah “Metode Penelitian Kualitatif”. Serta
memberikan dukungan terhadap para pelestari Kesenian Tradisional, terutama seni
tari Kuda Lumping Bondowoso. Sehingga warisan kesenian budaya tradisional tetap
terjaga kemurniannya.
1.1 Latar Belakang
Kuda Lumping adalah tarian tradisional yang menggunakan properti berupa
kuda tiruan. Kuda lumping atau juga disebut dengan Jaranan/Jaran Kepang atau
jathilan merupakan tarian tradisional dari Jawa yang menampilkan sekelompok
prajurit sedang menunggang kuda.
Menurut berbagai sumber tari kuda lumping ini menggambarkan kisah
perjuangan Raden Patah, yang dibantu oleh Sunan Kalijaga, melawan penjajah
Belanda. Ada pula yang menyebutkan bahwa tarian ini mengisahkan tentang latihan
perang pasukan Mataram yang dipimpin Sultan Hamengku Buwono I, Raja Mataram,
untuk menghadapi pasukan Belanda. Dan terlepas dari asal usulnya, tarian kuda
lumping ini merefleksikan semangat heroisme dan aspek kemiliteran sebuah
pasukan berkuda atau kavaleri. Hal ini terlihat dari gerakan-gerakan ritmis,
dinamis, dan agresif, melalui kibasan anyaman bambu, menirukan gerakan layaknya
seekor kuda di tengah peperangan.
Properti yang berbentuk kuda ini biasanya terbuat dari bambu yang
dianyam, dicat serta dihiasi dengan kain sehingga menyerupai kuda.
Kesenian Kuda Lumping ini juga identik dengan hal mistis, dimana para pemain/penari
kuda lumping bisa kesurupan. Karena kemasukan roh ini maka tindakan
pemain bisa diluar kendali seperti memakan beling, sehingga permainan kuda
lumping ini dikendalikan oleh seorang pawang yang bisa menyembuhkan para pemain
yang kerasukan tersebut.
Perkembangan zaman menumbuhkan cara pandang berbeda untuk penikmat kesenian
kuda lumping. Sehingga berjalannya waktu kuda lumping mengalami perubahan dalam
proses pertunjukan maupun persiapan sebelum pementasan. Keyakinan akan mistis
yang terkandung kini berubah menjadi hiburan masyarakat dengan sajian sedikit
mengalami perubahan.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun
beberapa rumusan masalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana tata cara dan gambaran tentang
tari kuda lumping didalam masyarakat Bondowoso?
2.
Apa saja yang dibutuhkan untuk persiapan
dalam pementasan tari kuda lumping?
3.
Apa perbedaan tari Kuda Lumping sekarang
dan dahulu?
1.3 Tujuan dan Manfaat
·
Tujuan
1. Melengkapi tugas Matakuliah Metode
Penelitian Kualitatif
2. Sebagai sumber informasi terbaru tentang perubahan
tari Kuda Lumping dahulu dan sekarang
3. Mempunyai rasa cinta terhadap Seni Budaya khususnya
Seni Tari
·
Manfaat
1. Mahasiswa dapat mengetahui perkembangan seni
tradisional teruama tari Kuda Lumping
2. Mahasiswa dapat memahami pentingnya kebudayaan dalam
kehidupan bermasyarakat
3. Mahasiswa dapat memahami makna dan nasihat yang
terkandung dalam tari serta dapat melaksanakan dalam kehidupan bermasyarakat.
1.4 Tinjauan Pustaka
1.4.1 Tinjauan Hasil Penelitian Sebelumnya
Dalam
penelitian Kesenian Tari Kuda Lumping Bondowoso, penulis menggunakan tinjauan
sebelumnya yang telah di lakukan oleh Nurul Isnaeni. Seorang Mahasiswa program studi pendidikan sejarah, Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan,Universitas muhammadiyah Purwokerto. Penelitian
tersebut mengenai evolusi Tari Kuda Lumping yang berada di desa Randegan,
Banyumas.
Nurul
Isaneni menggunakan teori Teori Evolusi,
merupakan jenis penulisan yang melukiskan perkembangan sebuah masyarakat
itu berdiri sampai menjadi sebuah masyarakat yang kompleks. Model ini
hanya dapat di terapkan pada bahan kajian yang memang mencoba mengkaji
masyarakat dari mulai berdirinya (Kuntowijoyo dkk, 2011:20).
Penelitian
tersebut menyimpulkan adanya evolusi dalam pementasan tari Jaran Kepang Ciarus.
Perubahan dengan adanya perkembangan jaman dan ilmu pengetahuan. Terlihat pada
keseluruhan Kesenian Tradisional Kuda Lumping pada tahun 1960 an, masih
mengandung unsur sirik jika di lihat dari segi Agama .
Pada
penelitian tersebut menyimpulkan bahwa masyarakat Banyumas masih melestarikan
tari kuda lumping pada setiap kegiatan. Berdirnya kesenian tersebut sejak tahun
2002 ini, didirikan berdasarkan keturunandari keluarganya yang ingin
melestarikan kebudayaan Kesenian Tradisonal yang merupakan bentukan dari
organisai masyrakat yang mendukung adanya Kesenian Tradisional Kuda Lumping
agar ada di Desanya khususnya Desa Ciarus.
Namun
berbeda dengan Kesenian Tradisional Kuda Lumping yang di miliki Desa Ciarus,
para penonton bukan hanya menunggu klimaksnya acara kesurupan, tetapi juga
sangat menimati alunan lagu yang di di tabuhkan oleh penggendang dan suara
merdunya sinden, serta gemulainya penari kuda lumping yang merupakan pelatihan
dari SMKI atau sekolah kesenian. (Wawancara Bapak Ayat Pautn, 2013:Randegan).
1.4.2 Tinjauan Teori
Penelitian Kesenian Tradisional Kuda Lumping daerah
Bondowoso, penulis menggunakan model perkembangan. Teori perkembangan sendiri mengandung
makna adanya pemunculan sifat-sifat yang baru, yang berbeda dari sebelumnya (
Kasiram, 1983 : 23), menandung arti bahwa perkembangan merupakan peubahan sifat
indiviu menuju kesempurnaan yang merupakan penyempurnaan dari sifat-sifat
sebelumnya.
Perubahan
ini dapat di lihat dari segi kepercayaan yang dinut oleh masyarakat dahulu
hingga saat ini. Penulis memfokuskan perkembangan tari Kuda Lumping ini dari
segi perkembangan agama yang terkandung dalam kesenian tersebut. Sehingga dapat
menghasilkan penelitian tentang nilai-nilai yang terkandung di dalam kesenia
Tari kuda Lumping.
Namun
dengan berkembangnya jaman ada sedikit perubahaan misalkan saja pada Kuda
Lumping Ciarus yang di teliti oleh Nurul
Isaneni , dari awal berdirinya memang ada suatu organisasi atau dorongan dari
masyarakatnya untuk mendirikan suatu kesenian tradisional yang sehat tanpa melibatkan
mahluk halus dan ingin desanya di kenal oleh masyarakat luar.
BAB II.
METODE PENELITIAN
2.1 Metode Penelitian dan Lokasi Penelitian
Penulis
menggunakan pendekatan metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif
merupakan Sugiyono (2011:15), menyimpulkan bahwa metode penelitian kulitatif
adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme,
digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya
eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci, pengambilan sampel
sumber data dilakukan secara purposive dan snowbaal,
teknik pengumpulan dengan trianggulasi (gabungan), analisis data
bersifat induktif/kualitaif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan
makna dari pada generalisasi.
Penelitian
atau dalam bahasa Inggris disebut dengan research. Jika
dilihat dari susunan katanya, terdiri atas dua suku kata, yatitu re yang
berarti melakukan kembali atau pengulangan dan research yang berarti melihat,
mengamati atau mencari, sehingga research dapat diartikan sebagai rangkaian
kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan pemahaman baru yang lebih kompleks,
lebih mendetail, dan lebih komprehensif dari suatu hal yang diteliti.
Lokasi
penelitian di lakukan di daerah Bondowoso. Bondowoso merupakan kota yang
memiliki dua budaya, jawa dan madura. Peneliti memilih kota tersebut karena
ingin mengetahui perkembangan budaya jawa yang ada di dalam kelompok budaya
yang berbeda. Hal tersebut yang memicu penulis untuk meneliti perkembangan
kepercayaan budaya dari jaman dulu hingga saat ini.
2.2 Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian data secara garis besar terdapat dala tiga kelompok,
yaitu: Wawancara, Observasi, dan dokumentasi.
a)
Wawancara
Wawancara merupakan alat re-cheking atau
pembuktian terhadap informasi atau keterangan yang diperoleh sebelumnya. Tehnik
wawancara yang digunakan dalam penelitian kualitatif adalah wawancara mendalam.
Wawancara mendalam (in–depth interview).Dalam mencari informasi,
peneliti melakukan dua jenis wawancara, yaitu autoanamnesa dan aloanamnesa.Selanjutnya
wawancara dapat dilakukan secara terstruktur dan tidak terstruktut, dan
dapat dilakukan dengan tatap muka (face to face) maupun
menggunakan telepon (Sugiyono, 2006; 138-140).
b) Observasi
Bungin (2007: 115) mengemukakan beberapa bentuk
observasi yang dapat digunakan dalam penelitian kualitatif, yaitu observasi
partisipasi, observasi tidak terstruktur, dan observasi kelompok tidak
terstruktur.
c) Studi Dokumentasi
Dokumentasi adalah salah satu metode pengumpulan data
kualitatif dengan melihat atau menganalisis dokumen-dokumen yang dibuat oleh
subjek sendiri atau oleh orang lain tentang subjek.
1. Dokumen
Meleong (dalam Herdiansyah,
2010: 143) mengemukakan dua bentuk dokumen yang dapat dijadikan bahan dalam
studi dokumentasi, yaitu:
a. Dokumen harian
·
Catatan harian (diary)
·
Surat Pribadi
·
Autobiografi
b. Dokumen Resmi. Yaitu Pertama dokumen internal. Kedua,
dokumen eksternal
2.
Focus Group Discussion (FGD)
Focus Group Discussion (FGD) adalah teknik pengumpulan data yang umumnya
dilakukan pada penelitian kualitatif dengan tujuan menemukan makna sebuah tema
menurut pemahaman sebuah kelompok.Ada beberapa ketentuan yang harus
diperhatikan ketika ingin melakukan FGD. Pertama, jumlah FGD berkisar
antara 5-10 orang. Kedua, Peserta FGD harus bersifat FGD. Ketiga, perlunya
dinamika kelompok.
Ada beberapa
kepentingan mengapa peneliti melakukan FGD, antara lain:
·
Jika peneliti
membutuhkan pemahaman lebih dari satu sudut pandang,
·
Jika terjadi gap
komunikasi antar kelompok,
·
Untuk menyingkap
suatu fakta secara lebih detail dan lebih kaya,
·
Untuk keperluan
verifikasi
d) Proses Pengumpulan Data Kualitatif
Secara garis
besar, terdapat lima tahapan proses pengumpulan data
kualitatif.
- Melakuakn identifikasi Subjek/ Partisipan Penelitian dan lokasi Penelitian (Site).
- Mencari dan Mendapatkan akses menuju Subjek/Partisispan Penelitian dan Lokasi Penelitian .
- Menentukan Jenis Data yang Akan Dicari/Diperoleh
- Mengembangkan atau Menentukan Instrumen/Metode Pengumpulan Data.
2.3 Analisis Data
Tari Kuda Lumping merupakan tari kesenian tradisional yang
memiliki arti perjuangan prajurit kerajaan yang akan berperang. Asal mula
kesenian ini berasal dari kerajaan Kediri, lalu berkembang pada wilayah-wilayah.
Dahulu kesenian ini memiliki mengandung mistis dan kental akan keyakinan adat.
Namun seiring perkembangan jaman tari ini telah berubah menjadi tarian yang
berfungsi sebagai sarana hiburan masyarakat. Hanya sebagian masyarakat saja
yang masih melestarikan kemurnian tari tradisional yang mengandung mistis dalam
budaya adat. Hal tersebut dapat dipahami
dalam hasil wawancara penulis bersama informan berikut ini:
2.3.1
Hasil Wawancara
Dalam kelancaran penelitian ini, informan
yang tuju penulis ialah seorang seniman yang berkediaman di kota Bondowoso.
Beliau ialah Bapak Badi Subadi S.pd. Seorang guru SMP Negeri 07 Bondowoso.
Selain sebagai pendidik,beliau juga sebagai ketua “Sanggar Pensi” yang terletak
di jalan Diponegoro Kampung Baru Belakang Universitas Bondowoso Rt 35 Rw 04
Bondowoso. Disalah dapat mengetahui berbagai macam tarian-tarian tradisional.
Pada penelitian kali ini penulis meneliti tari Kuda Lumping yang berada di Kota
Bondowoso beserta perkembanganya.
Kuda lumping juga disebut jaran kepang merupakan tarian
tradisional Jawa
menampilkan sekelompok prajurit tengah menunggang kuda. Hal ini diungkapkan
oleh Bapak badi Subadi S.pd. dalam wawancara yang telah dilakukan bersama
penulis. Penulis bertanya “Bagaimana asal mula munculnya tari kuda lumping,
pak?” beliau menjawab “Kuda Lumping asal mulanya dari kerajaan Kediri, Kuda
Lumping itu menggambarkan prajurit yang akan berperang.” Dalam ungkapan beliau
dapat menggambarkan sekelompok prajurit gagah dan setia.
Perkembangan zaman menjadi pertanyaan penulis “Apakah tari Kuda Lumping
dahulu dengan sekarang mengalami perubahan?” beliau menjelaskan “Ada, kalau
tari kuda lumping dulu tidak ada akrobatik, adanya hanya magis atau sakral
seperti makan beling, dikebuki(dipukuli). Sebab dahulu masih campur dengan
debus. Tapi, kalau sekarang ya ada akrobatnya sampai ada loncat-loncatnya.” Hal
tersebut membuktikan bahwa perkembangan zaman mengubah cara pandangan
masyarakat akan adat dan istiadat yang dimiliki oleh kebudayaan tradisional
yang bersifat turun menurun. Namun, pertunjukan tari kuda lumping tetap
memiliki persamaan dalam pementasan yaitu lebih mengarah pada hiburan masyarakat.
Dapat di pahami dalm penjelasan yang diberikan berikut ini,Penulis
bertanya ” Tari kuda lumping itu termasuk kesenian adat atau sebatas hiburan,
dan apakah setiap budaya memiliki pertunjukan kuda lumping dengan tampilan yang
sama pak?” beliau mengungkapkan “Kalau adat setiap budaya ya berbeda-beda, Tapi
kalau tari kuda lumping yang seperti itu, ya walau ditampilkan di Kediri,
Nganjuk, kemudian Blitar semua sama. Hanya saja jenisnya berbeda-beda, ada yang
namanya pegon, pego, jaran pegon, jaran dor, jaran buto yaitu di Banyuangi,
jaran centerewe di Kediri, Pegon asli Blitar, jaran dor di Blitar biasanya
kudanya besar-besar dan penarinya tua-tua.” Setiap daerah meiliki rangkaian
pertunjukan kuda lumping sama namun hanya saja nama yang membedakan tarian kuda
lumping setiap daerah.
Dalam pertunukan tari biasa terdapat beberapa penari sebagai penunjuk
amanat yang ingin disampaikan oleh penari. Namun, setiap tarian memiliki jumlah
penari sendiri-sendiri dalam pertunjukan, untuk tari kuda lumping tidak dinentukan
jumlahnya hanya saja disesuaikan dengan kebutuhan saat pementasan. Selain itu
penari dalam tari kuda lumping bisa diperankan oleh laki-laki maupun perempuan.
Dalam tari ini tidak memiliki tokoh utama dalam pertunjukannya, tidak seperti
reok, tari tersebut memiliki pusat perhatian karena memiliki tokoh utama. Hal
tersebut dapat dipahami dalam percakapan berikut:
Penulis bertanya “Apakah pemain kuda lumping setiap pertunjukan jumlahnya
sama atau berbeda-beda dan apakah pemain dalam tari kuda lumping ditentukan di
peruntuk laki-laki saja atau wanita juga boleh, pak?” Beliau menjelaskan “Nah,
begini semua jumlah pemain kuda lumping tidak di tentukan hanya saja
disesuaikan oleh kebutuhan saat pertunjukan. Selain itu untuk penari, itu ada
pemain laki-laki ada perempuannya juga. Tetapi tidak ada tokoh tertentu, tidak
seperti reok, reok itu ada tokoh tapi kalau kuda lumping tidak ada.”
Jadi konsep panggung untuk jumlah pemain sesuai selera dan kebutuhan
dalam pertunjukan. Selain itu, jika berbicara tentang kesiapan untuk pementasan
kostum merupakan salah satu kesiapan yang harus di perhatikan. Setiap acesoris
tari kuda lumping yang melekat pada tubuh memiliki pengertian dan makna
tersendiri. Sehingga selain membuat pemeran menjadi tampak gagah, kostum menggambarkan
keteguhan masyarakat jaman dahulu yang pantang menyerah. Dapat diketahui dalam
percakapan berikut:
Penulis bertanya”Pak, bagaiman kesiapan baju pemain sebelum pementasan?”
Beliau menjelaskan “Untuk tradisi biasanya tidak ada sutradaranya ya..... Kalau
tradisi juga tidak ada perias khusus. Jadi semua harus bisa merias diri walau tari pegon masih SMP tidak akan jadi
penari Jatil sebelum dia bisa merias sendiri. Biasa kalau pentas biasanya
mendadak. Contoh waktu satu jam tidak ada waktu untuk mengantri untuk merias
bersamaan.”
Kemandirian menggeluti seni terutama seni tari harus tumbuh dalam diri
sendiri. Sebab menjadi seorang penari harus menjadi individu yang mandiri dalam
berbagai aspek. Kesiapan untuk pementasan baik kesiapan gerak tari, kostum
maupun make-up. Semua membutuhkan ketulusan dalam kelancaran pementasan setra
bertujuan pelestarian budaya tradisional. Selain itu tari kuda lumping memiliki
ciri khas yang mudah di kenali oleh penikmat tari yaitu tarian ini menggunakan kuda yang terbuat dari
bambu
atau bahan lainnya yang di anyam dan dipotong menyerupai bentuk kuda, dengan
dihiasi rambut tiruan dari tali plastik atau sejenisnya yang di gelung atau di
kepang. Anyaman kuda ini dihias dengan cat dan kain beraneka warna. Tarian kuda
lumping biasanya hanya menampilkan adegan prajurit berkuda, akan tetapi
beberapa penampilan kuda lumping juga menyuguhkan atraksi kesurupan,
kekebalan, dan kekuatan magis, seperti atraksi memakan beling dan kkebalan tubuh
terhadap deraan pecut.
Seperti dalam percakapan berikut ini mengenai ciri khas tari kuda
lumping. Penulis “Pak, apa yang menjadi ciri khas tari kuda lumping?” Beliau
menjelaskan “Ciri khasnya pasti ada, yaitu da kudanya. Itu sudah pasti,
disetiap daerah nama kuda itu berbeda-beda yaitu kucinga/garongan, ada
ulo-uloan, ada kucingan, ada barongan, ada caplokan, setiap daerah itu berbeda
namun bentuknya sama.”
Penulis bertanaya”Untuk amanat yang ingin diasmpaikan dalam tari tersebut
apa pak? Biasanya tari mengandung amanat, bagaimana dengan tari kuda lumping? Apa yang ingin disampaikan
melalui tari tersebut? Beliau menjelaskan “Kalau kuda lumping itu, tujuannya
saat ini untuk menghibur masyarakat. Hampir sama dengan seni tradisi lainnya.
Jadi satu untuk mempersatukan masyarakat. Dua untuk menghibur masyarakat.”
Perkembangan jaman telah mengubah tujuan awal, yang berawal sebagai
kepercayaan masyarakat akan hal-hal gaib atau mistis, menjadi sarana hiburan
masyarakat. Namun kurangnya perhatian pemeritah saat ini untuk menjaga
kemurnian seni tradisional membuat kurangnya pemahaman masyarakat akan arti
budaya tradisional, yang bersifat turun menurun. Sehingga hanya masyarakat yang
sadar akan budaya tradisional yang memegang teguh keyakinan untuk
memperjuangkan dan mampu berusaha melestarikan serta mengenalkan pada
masyarakat. Walau semua kebutuhan harus ditanggung pribadi namun kepuasan
menyebarkan ilmu degan tujuan seni tradisional tetap terjaga. Seperti yang
dapat kita simak pada percakapan berikut:
Penulis “Apakah tari kuda lumping masih dilestarikan, terutama di kota
Bondowoso?” Beliau menjawab “Masih, kemarin saja saya tampilkan di pendopo.
Banyak yang tertarik dengan tarian tradisional namun uangnya yang tidak seneng.
Kalau masyarakat di Bondowoso itu lebih suka nonton yang gratis-gratis, coba
gratis, sanak saudara semua akan hadir untuk nonton. Tapi seandainya disewakan
tidak ada yang datang .”
BAB III.
GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
3.1
Keadaan Umum
Seni rakyat kuda
lumping yang semula hanya digemari oleh masyarakat Jawa kini
mulai dikenal dan digemari oleh masyarakat luar Jawa. Jathilan yang sangat
tradisional kemudian berkembang menjadi tari kuda lumping dengan kreasi baru,
membuat kesenian ini menarik untuk dinikmati. Bahkan wisatawan asing pun
menggemari. Tari kuda lumping yang sudah sangat dikenal di bumi Nusantara sudah
seyogyanya terus dikembangkan. Tari kuda lumping memiliki ciri
khas dalam setiap pementasannya yaitu penggunaan kuda tiruan yang terbuat dari
anyaman. kesenian ini adalah kesenian
yang mempunyai sifat dakwah adalah dapat dilihat dari isi cerita yang
ditunjukan oleh karakter para tokoh yang ada dalam tarian Kuda Lumping,
tokoh-tokoh itu antara lain para prajurit berkuda, Barongan dan Celengan. Dalam
kisahnya para tokoh tersebut masing-masing mempunyai sifat dan karakter yang
berbeda, simbul Kuda menggambarkan suatu sifat keperkasaan yang penuh semangat,
pantang menyerah, berani dan selalu siap dalam kondisi serta keadaan apapun.
Sifat dari para tokoh yang diperankan dalam seni tari kuda lumping
merupakan pangilon atau
gambaran dari berbagai macam sifat yang ada dalam diri manusia. Para seniman
kuda lumping memberikan isyarat kepada manusia bahwa didunia ini ada sisi buruk
dan sisi baik, tergantung manusianya tinggal ia memilih sisi yang mana, kalau
dia bertindak baik berarti dia memilih semangat kuda untuk dijadikan motifasi
dalam hidup, bila sebaliknya berarti ia memlih semangat dua tokoh berikutnya
yaitu Barongan dan Celengan atau babi hutan.
3.2 Keadaan Geografis
Secara geografis kota Bondowoso terletak 113o48'10"
- 113o 48' 26" Bujur Timur dan 7o50' 10" - 7o 56' 41" Lintang
Selatan, dengan temperatur tahunan antara 23oC - 30oC. Relief dan topografi Pulau Bali di tengah-tengah
terbentang pegunungan yang memanjang dari barat ke timur.
Bondowoso
yang beribukota di Bondowoso memiliki luas 1.556 Km2 atau sekitar 3,26% dari
luas total Provinsi Jawa Timur, yang terbagi dalam 219 Desa/Kelurahan dan 23
Kecamatan, diantaranya Kecamatan Maesan, kecamatan grujugan, kecamatan Tamanan,
kecamatan Jambesari Darusholah, kecamatan Pujer, kecamatan tlogosari, kecamatan
sukosari, kecamatan sumber wringin, kecamatan tapen, kecamatan wonosari,
kecamatan tenggarang, kecamatan bondowoso, kecamatan curahdami, kecamatan
binakal, kecamatan pakem, kecamatan wringin, kecamatan tegalampel, kecamatan
taman krocok, kecamatan klabang, kecamatan botolinggo, kecamatan sempol,
kecamatan prajekan, dan kecamatan Cermee. Kecamatan yang memiliki daerah
terluas adalah Kecamatan Sempol yaitu sebesar 217,20 Km2 dan Kecamatan terkecil
yaitu Kecamatan Bondowoso 21,42 Km2.
3.2.1 Batas Wilayah
Penelitian dilakukan di Kelurahan Kutakulon Bondowoso, Jawa Timur. Pada penelitian ini penulis terfokus pada satu kelurahan yang terdapat sanggar tari bernama “Sanggar Pensi”. Sanggar tersebut biasa mengirimkan peserta didiknya untuk pementasan tari, baik sebagai penyambutan tamu penting atau perlombaan tari. Dengan demikian penulis dapat mengetahui perkembangan seni tari tradisional khususnya “Kuda Lumping” di kawasan Bondowoso secara menyeluruh. Kota Bondowoso terletak di Pulau Jawa, batas fisiknya adalah sebagai berikut:
· Sebelah
Barat berbatasan dengan Kabupaten Situbondo dan Kabupaten Probolinggo.
· Sebelah
Timur berbatasan dengan Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Situbondo
· Sebelah
Utara berbatasan dengan Kabupaten Situbondo
· Sebelah
Selatan berbatasan dengan Kabupaten Jember Kabupaten
3.2.2 Keadaan Alam
Seluruh wilayah Kabupaten Bondowoso
merupakan daratan, dimana 44,4% wilayahnya merupakan pegunungan dan perbukitan.
30,7% merupakan daratan rendah dan 24,9% merupakan daratan tinggi. Ditinjau
dari ketinggiannya Kabupaten Bondowoso berada antara 73m - 3.342m diatas
permukaan air laut dengan kondisi antara pantai sampai pegunungan. curah hujan
rata rata sebesar 6.475 mm/tahun dengan lama hujan 108 hari pertahun, dimana
curah hujan minimum sebesar 1.622 mm terjadi pada bulan juni dan curah hujan
maksimum terjadi pada bulan januari sebesar 13.102 mm.
Keadaan alam Bondowoso ikut memberi
potensi yang besar sebagai salah satu penyumbang kunjungan dalam pariwisata
Jawa Timur, karena di sini terdapat beberapa obyek wisata yang layak dikunjungi
seperti, Kawah Ijen, Perkebunan Jampit, Air Terjun Polo Agung dan masih banyak
lagi.
3.2.3 Keadaan Penduduk
Jumlah penduduk Kabupaten Bondowoso
tahun 2007 sebesar 735.894 jiwa, yang terdiri dari 361.380 jiwa penduduk
laki-laki dan 374.514 jiwa penduduk perempuan yang tersebar di 23 kecamatan.
Ini mengalami kenaikan dari tahun 2006 sebesar 10.323 jiwa atau sebesar 1,42 %.
Jumlah penduduk terbanyak di Kecamatan Bondowoso sebesar 72.714 jiwa dan
terendah di Kecamatan Sempol 8.103 jiwa. Angka kepadatan penduduk mencapai 471
jiwa/km2. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Bondowoso tahun 2008 yang
terdiri dari empat komponen yaitu angka harapan hidup, angka melek huruf orang
dewasa, rata-rata sekolah dan paritas daya beli pada tahun 2008 sebesar 59,54.
Meningkat dari tahun 2007 sebesar 59,05. Kecamatan dengan IPM tertinggi yaitu
Kecamatan Bondowoso sebesar 68,58, dan IPM terendah di Kecamatan Sumberwringin
sebesar 53,23.
3.2.4 Mata Pencaharian
Sebagian
besar pencaharian masyarakat Bondowoso di bidang pertanian. Komoditi unggulan Kabupaten Bondowoso yaitu sektor perkebunan, pertanian, peternakan dan jasa.
Sektor Perkebunan komoditi unggulannya adalah Kakao, Tebu, Kopi, Kelapa,
Cengkeh, kapuk, Tembakau dan Jambu Mete, sub sektor pertanian komoditinya
adalah jagung, kedelai, ubi jalar dan ubi kayu, sub sektor peternakan
komoditinya adalah sapi, babi, domba, kambing, dan kuda dan sub sektor jasa yaitu
wisata alam dan wisata budaya.
3.2.5 Mobilitas dan Pendidikan
Pembangunan bidang pendidikan saat ini sedang
digalakkan oleh Pemerintah Kabupaten Bondowoso, yang dilakukan dengan cara
memperluas dan pemerataan kesempatan masyarakat dalam memperoleh pendidikan.
Ini dikarenakan masih adanya penduduk yang tidak tamat sekolah, putus sekolah
dan bahkan tidak sekolah. Untuk itu Pemerintah Kabupaten Bondowoso berupaya
agar tingkat pendidikan masyarakat meningkat. Mulai dari pemenuhan sarana dan
parasarana pendidikan formal hingga penyelenggaraan pendidikan luar sekolah
salah satunya dengan Pemberantasan Buta Aksara (PBA), dimana Kabupaten Bondowoso telah dideklarasikan sebagai
kabupaten bebas buta aksara oleh Presiden RI dengan diterimanya penghargaan
Anugerah Aksara Tingkat Utama dari Presiden Republik Indonesia. Fasilitas
pendidikan dasar tersebar di semua kecamatan. Sedangkan untuk pendidikan
setingkat SMA sederajat terdapat di hampir semua kecamatan di Kabupaten
Bondowoso. Untuk pendidikan tinggi berada di Kecamatan Bondowoso yaitu
Universitas Bondowoso, Sekolah Tinggi Agama Islam At Taqwa dan Program Diploma
III Keperawatan.
3.2.6 Agama dan Pendidikan
Fasilitas peribadatan tersebar di
seluruh Kabupaten Bondowoso. Masjid terbesar di Bondowoso yaitu Masjid Jami’ At
Taqwa yang berada di sebelah barat alun-alun Bondowoso. Khusus untuk gereja
Katolik, Pura dan Vihara terletak di Kecamatan Bondowoso. Di Kabupaten
Bondowoso sebagai salah satu kabupaten tapal kuda tersebar pondok-pondok
pesantren dimana jumlah pondok pesantren dan jumlah santri setiap
tahun selalu bertambah.
3.2.7 Adat Istiadat
Kesenian Singo Ulung merupakan salah
satu kesenian tradisional warisan leluhur Desa Blimbing yaitu Mbah Singo Ulung
dan Mbah Jasiman. Pementasan kesenian
Singo Ulung banyak mengandung keunikan-keunikan tersendiri didalamnya, hal ini
yang menarik perhatian dari masyarakat yang ada didaerah Blimbing maupun yang
ada diluar daerah Desa Blimbing untuk menimati kesakralan dan keindahan dari
pertunjukan kesenian singo ulung ini. Antusias masyarakat yang begitu luas ini
menarik perhatian pemerintah daerah untuk memberi perhatian lebih terhadap
pengembangan kesenian singo ulung ini. Pemerintah Bondowoso menjadikan kesenian
singo ulung sebagai sebuah ciri khas kesenian tradisional Kabupaten Bondowoso.
V.PENUTUP
Sebagai penutup dalam penulisan karya tulis ini,
penulis akan menyajikan kesimpulan yang berhubungan dengan hasil analisis yang
telah dibahas dalam bab-bab sebelumnya. Kemudian dari kesimpulan tersebut,
penulis akan memberikan saran yang berhubungan dengan masalah diatas.
A. Kesimpulan
Perkembangan zaman mempengaruhi cara berfikir dan
pandangan masyarakat saat ini. Dahulu tari memiliki hubungan dengan mistis dan kepercayaan
budaya yang kenal. Namun, kini seni tari lebih mengarah pada hiburan masyarakat
pada umumnya.
B. Saran
·
Hendaknya pemerintah lebih
memperhatikan perkembangan seni tradisional sehingga tetap terjaga
kemurniannya.
·
Mulai
memperkenalkan seni dan budaya pada generasi muda baik secara formal maupun non
formal.
DAFTAR PUSTAKA
www. MATERI KULIAH/Semester 3/Metode Penelitian
Ilmiah/Contoh penelitian TARI.com
www.Metode Penelitian Ilmiah/Contoh Karya Tulis -
NgeblogBareng.com
www.KUDA LUMPING SIMBOL PERLAWANAN TERHADAP ELIT,
BUDAYA YANG TERPINGGIRKAN.com
www.Jatiran ( Jaran Kepang) _ Kebudayaan Indonesia.com
www.Etnografi Kuda Lumping Jalanan.com
www.Metode Penelitian Ilmiah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar