Rabu, 29 Juli 2015

PERKEMBANGAN SENI TARI KUDA LUMPING


BAB I

PENDAHULUAN


Kuda lumping juga disebut jaran kepang atau jathilan adalah tarian tradisional Jawa menampilkan sekelompok prajurit tengah menunggang kuda . Tari Jaran Kepang merupakan tarian rakyat yang banyak dikenal oleh masyarakat di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kuda lumping adalah seni tari yang dimainkan dengan properti berupa kuda tiruan, yang terbuat dari anyaman bambu atau kepang.
Berdasarkan persiapan pementasan seni Tari Kuda Lumping , penulis mengambil penelitian Tari Kuda Lumping di daerah Bondowoso. Kesenian tradisional Kuda Lumping sangat memukau pernah juga dipentaskan di setiap acara di Bondowoso. Memang sepintas Pementasan Kuda Lumping Bondowoso ini tidak berbeda dengan Kuda Lumping di daerah lain, sama- sama terdiri dari penari, penggendang dan sintren (sinden).
Maka dari itu penulis tertarik untuk meneliti persiapan pementasan Kesenian Kuda Lumping untuk memenuhi tugas mata kuliah “Metode Penelitian Kualitatif”. Serta memberikan dukungan terhadap para pelestari Kesenian Tradisional, terutama seni tari Kuda Lumping Bondowoso. Sehingga warisan kesenian budaya tradisional tetap terjaga kemurniannya.



1.1       Latar Belakang

           Kuda Lumping adalah tarian tradisional yang menggunakan properti berupa kuda tiruan. Kuda lumping atau juga disebut dengan Jaranan/Jaran Kepang atau jathilan merupakan tarian tradisional dari Jawa yang menampilkan sekelompok prajurit sedang menunggang kuda.
         Menurut berbagai sumber tari kuda lumping ini menggambarkan kisah perjuangan Raden Patah, yang dibantu oleh Sunan Kalijaga, melawan penjajah Belanda. Ada pula yang menyebutkan bahwa tarian ini mengisahkan tentang latihan perang pasukan Mataram yang dipimpin Sultan Hamengku Buwono I, Raja Mataram, untuk menghadapi pasukan Belanda. Dan terlepas dari asal usulnya, tarian kuda lumping ini merefleksikan semangat heroisme dan aspek kemiliteran sebuah pasukan berkuda atau kavaleri. Hal ini terlihat dari gerakan-gerakan ritmis, dinamis, dan agresif, melalui kibasan anyaman bambu, menirukan gerakan layaknya seekor kuda di tengah peperangan.
        Properti yang berbentuk kuda ini biasanya terbuat dari bambu yang dianyam,  dicat serta dihiasi dengan kain sehingga menyerupai kuda. Kesenian Kuda Lumping ini juga identik dengan hal mistis, dimana para pemain/penari kuda lumping  bisa kesurupan. Karena kemasukan roh ini maka tindakan pemain bisa diluar kendali seperti memakan beling, sehingga permainan kuda lumping ini dikendalikan oleh seorang pawang yang bisa menyembuhkan para pemain yang kerasukan tersebut.
Perkembangan zaman menumbuhkan cara pandang berbeda untuk penikmat kesenian kuda lumping. Sehingga berjalannya waktu kuda lumping mengalami perubahan dalam proses pertunjukan maupun persiapan sebelum pementasan. Keyakinan akan mistis yang terkandung kini berubah menjadi hiburan masyarakat dengan sajian sedikit mengalami perubahan.



1.2       Rumusan Masalah

Adapun beberapa rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana tata cara dan gambaran tentang tari kuda lumping didalam masyarakat Bondowoso?
2.      Apa saja yang dibutuhkan untuk persiapan dalam pementasan tari kuda lumping?
3.      Apa perbedaan tari Kuda Lumping sekarang dan dahulu?

 

1.3       Tujuan dan Manfaat

·         Tujuan
1.      Melengkapi tugas Matakuliah Metode Penelitian Kualitatif
2.      Sebagai sumber informasi terbaru tentang perubahan tari Kuda Lumping dahulu dan sekarang
3.      Mempunyai rasa cinta terhadap Seni Budaya khususnya Seni Tari
·         Manfaat
1.    Mahasiswa dapat mengetahui perkembangan seni tradisional teruama tari Kuda Lumping
2.    Mahasiswa dapat memahami pentingnya kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat
3.    Mahasiswa dapat memahami makna dan nasihat yang terkandung dalam tari serta dapat melaksanakan dalam kehidupan bermasyarakat.

1.4       Tinjauan Pustaka

1.4.1    Tinjauan Hasil Penelitian Sebelumnya

Dalam penelitian Kesenian Tari Kuda Lumping Bondowoso, penulis menggunakan tinjauan sebelumnya yang telah di lakukan oleh Nurul Isnaeni. Seorang Mahasiswa program studi pendidikan sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,Universitas muhammadiyah Purwokerto. Penelitian tersebut mengenai evolusi Tari Kuda Lumping yang berada di desa Randegan, Banyumas.
Nurul Isaneni menggunakan teori Teori Evolusi,  merupakan jenis penulisan yang melukiskan perkembangan sebuah masyarakat itu berdiri sampai menjadi sebuah masyarakat yang kompleks. Model ini hanya dapat di terapkan pada bahan kajian yang memang mencoba mengkaji masyarakat dari mulai berdirinya (Kuntowijoyo dkk, 2011:20).
Penelitian tersebut menyimpulkan adanya evolusi dalam pementasan tari Jaran Kepang Ciarus. Perubahan dengan adanya perkembangan jaman dan ilmu pengetahuan. Terlihat pada keseluruhan Kesenian Tradisional Kuda Lumping pada tahun 1960 an, masih mengandung unsur sirik jika di lihat dari segi Agama .
Pada penelitian tersebut menyimpulkan bahwa masyarakat Banyumas masih melestarikan tari kuda lumping pada setiap kegiatan. Berdirnya kesenian tersebut sejak tahun 2002 ini, didirikan berdasarkan keturunandari keluarganya yang ingin melestarikan kebudayaan Kesenian Tradisonal yang merupakan bentukan dari organisai masyrakat yang mendukung adanya Kesenian Tradisional Kuda Lumping agar ada di Desanya khususnya Desa Ciarus.
Namun berbeda dengan Kesenian Tradisional Kuda Lumping yang di miliki Desa Ciarus, para penonton bukan hanya menunggu klimaksnya acara kesurupan, tetapi juga sangat menimati alunan lagu yang di di tabuhkan oleh penggendang dan suara merdunya sinden, serta gemulainya penari kuda lumping yang merupakan pelatihan dari SMKI atau sekolah kesenian. (Wawancara Bapak Ayat Pautn, 2013:Randegan).

1.4.2    Tinjauan Teori

Penelitian Kesenian Tradisional Kuda Lumping daerah Bondowoso, penulis menggunakan model perkembangan. Teori perkembangan sendiri mengandung makna adanya pemunculan sifat-sifat yang baru, yang berbeda dari sebelumnya ( Kasiram, 1983 : 23), menandung arti bahwa perkembangan merupakan peubahan sifat indiviu menuju kesempurnaan yang merupakan penyempurnaan dari sifat-sifat sebelumnya.
Perubahan ini dapat di lihat dari segi kepercayaan yang dinut oleh masyarakat dahulu hingga saat ini. Penulis memfokuskan perkembangan tari Kuda Lumping ini dari segi perkembangan agama yang terkandung dalam kesenian tersebut. Sehingga dapat menghasilkan penelitian tentang nilai-nilai yang terkandung di dalam kesenia Tari kuda Lumping.
Namun dengan berkembangnya jaman ada sedikit perubahaan misalkan saja pada Kuda Lumping Ciarus  yang di teliti oleh Nurul Isaneni , dari awal berdirinya memang ada suatu organisasi atau dorongan dari masyarakatnya untuk mendirikan suatu kesenian tradisional yang sehat tanpa melibatkan mahluk halus dan ingin desanya di kenal oleh masyarakat luar.




 

BAB II.

METODE PENELITIAN

2.1 Metode Penelitian dan Lokasi Penelitian

Penulis menggunakan pendekatan metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan Sugiyono (2011:15), menyimpulkan bahwa metode penelitian kulitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci, pengambilan sampel sumber data dilakukan secara purposive dan snowbaal, teknik pengumpulan dengan trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitaif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi.
Penelitian atau dalam bahasa Inggris disebut dengan research. Jika dilihat dari susunan katanya, terdiri atas dua suku kata, yatitu re yang berarti melakukan kembali atau pengulangan dan research yang berarti melihat, mengamati atau mencari, sehingga research dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan pemahaman baru yang lebih kompleks, lebih mendetail, dan lebih komprehensif dari suatu hal yang diteliti.
Lokasi penelitian di lakukan di daerah Bondowoso. Bondowoso merupakan kota yang memiliki dua budaya, jawa dan madura. Peneliti memilih kota tersebut karena ingin mengetahui perkembangan budaya jawa yang ada di dalam kelompok budaya yang berbeda. Hal tersebut yang memicu penulis untuk meneliti perkembangan kepercayaan budaya dari jaman dulu hingga saat ini.


2.2 Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian data secara garis besar terdapat dala tiga kelompok, yaitu: Wawancara, Observasi, dan dokumentasi.
a)      Wawancara
Wawancara merupakan alat re-cheking atau pembuktian terhadap informasi atau keterangan yang diperoleh sebelumnya. Tehnik wawancara yang digunakan dalam penelitian kualitatif adalah wawancara mendalam. Wawancara mendalam (in–depth interview).Dalam mencari informasi, peneliti melakukan dua jenis wawancara, yaitu autoanamnesa  dan aloanamnesa.Selanjutnya wawancara dapat dilakukan secara terstruktur dan tidak terstruktut, dan dapat dilakukan dengan tatap muka (face to face) maupun menggunakan telepon (Sugiyono, 2006; 138-140).



b)     Observasi
Bungin (2007: 115) mengemukakan beberapa bentuk observasi yang dapat digunakan dalam penelitian kualitatif, yaitu observasi partisipasi, observasi tidak terstruktur, dan observasi kelompok tidak terstruktur.
c)      Studi Dokumentasi
Dokumentasi adalah salah satu metode pengumpulan data kualitatif dengan melihat atau menganalisis dokumen-dokumen yang dibuat oleh subjek sendiri atau oleh orang lain tentang subjek.
1.      Dokumen
Meleong (dalam Herdiansyah, 2010: 143) mengemukakan dua bentuk dokumen yang dapat dijadikan bahan dalam studi dokumentasi, yaitu:
a.       Dokumen  harian
·                      Catatan harian (diary)
·                      Surat Pribadi
·                      Autobiografi
b.      Dokumen Resmi. Yaitu Pertama dokumen internal. Kedua, dokumen eksternal

2.      Focus Group Discussion (FGD)

Focus Group Discussion (FGD) adalah teknik pengumpulan data yang umumnya dilakukan pada penelitian kualitatif dengan tujuan menemukan makna sebuah tema menurut pemahaman sebuah kelompok.Ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan ketika ingin melakukan FGD. Pertama, jumlah FGD berkisar antara 5-10 orang. Kedua, Peserta FGD harus bersifat FGD. Ketiga, perlunya dinamika kelompok.

Ada beberapa kepentingan mengapa peneliti melakukan FGD, antara lain:
·         Jika peneliti membutuhkan pemahaman lebih dari satu sudut pandang,
·         Jika terjadi gap komunikasi antar kelompok,
·         Untuk menyingkap suatu fakta secara lebih detail dan lebih kaya,
·         Untuk keperluan verifikasi
d)     Proses Pengumpulan Data Kualitatif
Secara garis besar, terdapat lima tahapan proses pengumpulan data
kualitatif.
  • Melakuakn identifikasi Subjek/ Partisipan Penelitian dan lokasi Penelitian (Site).
  • Mencari dan Mendapatkan akses menuju Subjek/Partisispan Penelitian dan Lokasi Penelitian .
  • Menentukan Jenis Data yang Akan Dicari/Diperoleh
  • Mengembangkan atau Menentukan Instrumen/Metode Pengumpulan Data.

2.3     Analisis Data

        Tari Kuda Lumping merupakan tari kesenian tradisional yang memiliki arti perjuangan prajurit kerajaan yang akan berperang. Asal mula kesenian ini berasal dari kerajaan Kediri, lalu berkembang pada wilayah-wilayah. Dahulu kesenian ini memiliki mengandung mistis dan kental akan keyakinan adat. Namun seiring perkembangan jaman tari ini telah berubah menjadi tarian yang berfungsi sebagai sarana hiburan masyarakat. Hanya sebagian masyarakat saja yang masih melestarikan kemurnian tari tradisional yang mengandung mistis dalam budaya adat.  Hal tersebut dapat dipahami dalam hasil wawancara penulis bersama informan berikut ini:

2.3.1    Hasil Wawancara
          Dalam kelancaran penelitian ini, informan yang tuju penulis ialah seorang seniman yang berkediaman di kota Bondowoso. Beliau ialah Bapak Badi Subadi S.pd. Seorang guru SMP Negeri 07 Bondowoso. Selain sebagai pendidik,beliau juga sebagai ketua “Sanggar Pensi” yang terletak di jalan Diponegoro Kampung Baru Belakang Universitas Bondowoso Rt 35 Rw 04 Bondowoso. Disalah dapat mengetahui berbagai macam tarian-tarian tradisional. Pada penelitian kali ini penulis meneliti tari Kuda Lumping yang berada di Kota Bondowoso beserta perkembanganya.
Kuda lumping juga disebut jaran kepang merupakan tarian tradisional Jawa menampilkan sekelompok prajurit tengah menunggang kuda. Hal ini diungkapkan oleh Bapak badi Subadi S.pd. dalam wawancara yang telah dilakukan bersama penulis. Penulis bertanya “Bagaimana asal mula munculnya tari kuda lumping, pak?” beliau menjawab “Kuda Lumping asal mulanya dari kerajaan Kediri, Kuda Lumping itu menggambarkan prajurit yang akan berperang.” Dalam ungkapan beliau dapat menggambarkan sekelompok prajurit gagah dan setia.
Perkembangan zaman menjadi pertanyaan penulis “Apakah tari Kuda Lumping dahulu dengan sekarang mengalami perubahan?” beliau menjelaskan “Ada, kalau tari kuda lumping dulu tidak ada akrobatik, adanya hanya magis atau sakral seperti makan beling, dikebuki(dipukuli). Sebab dahulu masih campur dengan debus. Tapi, kalau sekarang ya ada akrobatnya sampai ada loncat-loncatnya.” Hal tersebut membuktikan bahwa perkembangan zaman mengubah cara pandangan masyarakat akan adat dan istiadat yang dimiliki oleh kebudayaan tradisional yang bersifat turun menurun. Namun, pertunjukan tari kuda lumping tetap memiliki persamaan dalam pementasan yaitu lebih mengarah pada hiburan  masyarakat.

Dapat di pahami dalm penjelasan yang diberikan berikut ini,Penulis bertanya ” Tari kuda lumping itu termasuk kesenian adat atau sebatas hiburan, dan apakah setiap budaya memiliki pertunjukan kuda lumping dengan tampilan yang sama pak?” beliau mengungkapkan “Kalau adat setiap budaya ya berbeda-beda, Tapi kalau tari kuda lumping yang seperti itu, ya walau ditampilkan di Kediri, Nganjuk, kemudian Blitar semua sama. Hanya saja jenisnya berbeda-beda, ada yang namanya pegon, pego, jaran pegon, jaran dor, jaran buto yaitu di Banyuangi, jaran centerewe di Kediri, Pegon asli Blitar, jaran dor di Blitar biasanya kudanya besar-besar dan penarinya tua-tua.” Setiap daerah meiliki rangkaian pertunjukan kuda lumping sama namun hanya saja nama yang membedakan tarian kuda lumping setiap daerah.
Dalam pertunukan tari biasa terdapat beberapa penari sebagai penunjuk amanat yang ingin disampaikan oleh penari. Namun, setiap tarian memiliki jumlah penari sendiri-sendiri dalam pertunjukan, untuk tari kuda lumping tidak dinentukan jumlahnya hanya saja disesuaikan dengan kebutuhan saat pementasan. Selain itu penari dalam tari kuda lumping bisa diperankan oleh laki-laki maupun perempuan. Dalam tari ini tidak memiliki tokoh utama dalam pertunjukannya, tidak seperti reok, tari tersebut memiliki pusat perhatian karena memiliki tokoh utama. Hal tersebut dapat dipahami dalam percakapan berikut:
Penulis bertanya “Apakah pemain kuda lumping setiap pertunjukan jumlahnya sama atau berbeda-beda dan apakah pemain dalam tari kuda lumping ditentukan di peruntuk laki-laki saja atau wanita juga boleh, pak?” Beliau menjelaskan “Nah, begini semua jumlah pemain kuda lumping tidak di tentukan hanya saja disesuaikan oleh kebutuhan saat pertunjukan. Selain itu untuk penari, itu ada pemain laki-laki ada perempuannya juga. Tetapi tidak ada tokoh tertentu, tidak seperti reok, reok itu ada tokoh tapi kalau kuda lumping tidak ada.”
Jadi konsep panggung untuk jumlah pemain sesuai selera dan kebutuhan dalam pertunjukan. Selain itu, jika berbicara tentang kesiapan untuk pementasan kostum merupakan salah satu kesiapan yang harus di perhatikan. Setiap acesoris tari kuda lumping yang melekat pada tubuh memiliki pengertian dan makna tersendiri. Sehingga selain membuat pemeran menjadi tampak gagah, kostum menggambarkan keteguhan masyarakat jaman dahulu yang pantang menyerah. Dapat diketahui dalam percakapan berikut:
Penulis bertanya”Pak, bagaiman kesiapan baju pemain sebelum pementasan?” Beliau menjelaskan “Untuk tradisi biasanya tidak ada sutradaranya ya..... Kalau tradisi juga tidak ada perias khusus. Jadi semua harus bisa merias diri  walau tari pegon masih SMP tidak akan jadi penari Jatil sebelum dia bisa merias sendiri. Biasa kalau pentas biasanya mendadak. Contoh waktu satu jam tidak ada waktu untuk mengantri untuk merias bersamaan.”
Kemandirian menggeluti seni terutama seni tari harus tumbuh dalam diri sendiri. Sebab menjadi seorang penari harus menjadi individu yang mandiri dalam berbagai aspek. Kesiapan untuk pementasan baik kesiapan gerak tari, kostum maupun make-up. Semua membutuhkan ketulusan dalam kelancaran pementasan setra bertujuan pelestarian budaya tradisional. Selain itu tari kuda lumping memiliki ciri khas yang mudah di kenali oleh penikmat tari yaitu  tarian ini menggunakan kuda yang terbuat dari bambu atau bahan lainnya yang di anyam dan dipotong menyerupai bentuk kuda, dengan dihiasi rambut tiruan dari tali plastik atau sejenisnya yang di gelung atau di kepang. Anyaman kuda ini dihias dengan cat dan kain beraneka warna. Tarian kuda lumping biasanya hanya menampilkan adegan prajurit berkuda, akan tetapi beberapa penampilan kuda lumping juga menyuguhkan atraksi kesurupan, kekebalan, dan kekuatan magis, seperti atraksi memakan beling dan kkebalan tubuh terhadap deraan pecut.
Seperti dalam percakapan berikut ini mengenai ciri khas tari kuda lumping. Penulis “Pak, apa yang menjadi ciri khas tari kuda lumping?” Beliau menjelaskan “Ciri khasnya pasti ada, yaitu da kudanya. Itu sudah pasti, disetiap daerah nama kuda itu berbeda-beda yaitu kucinga/garongan, ada ulo-uloan, ada kucingan, ada barongan, ada caplokan, setiap daerah itu berbeda namun bentuknya sama.”
Penulis bertanaya”Untuk amanat yang ingin diasmpaikan dalam tari tersebut apa pak? Biasanya tari mengandung amanat, bagaimana dengan tari  kuda lumping? Apa yang ingin disampaikan melalui tari tersebut? Beliau menjelaskan “Kalau kuda lumping itu, tujuannya saat ini untuk menghibur masyarakat. Hampir sama dengan seni tradisi lainnya. Jadi satu untuk mempersatukan masyarakat. Dua untuk menghibur masyarakat.”
Perkembangan jaman telah mengubah tujuan awal, yang berawal sebagai kepercayaan masyarakat akan hal-hal gaib atau mistis, menjadi sarana hiburan masyarakat. Namun kurangnya perhatian pemeritah saat ini untuk menjaga kemurnian seni tradisional membuat kurangnya pemahaman masyarakat akan arti budaya tradisional, yang bersifat turun menurun. Sehingga hanya masyarakat yang sadar akan budaya tradisional yang memegang teguh keyakinan untuk memperjuangkan dan mampu berusaha melestarikan serta mengenalkan pada masyarakat. Walau semua kebutuhan harus ditanggung pribadi namun kepuasan menyebarkan ilmu degan tujuan seni tradisional tetap terjaga. Seperti yang dapat kita simak pada percakapan berikut:
Penulis “Apakah tari kuda lumping masih dilestarikan, terutama di kota Bondowoso?” Beliau menjawab “Masih, kemarin saja saya tampilkan di pendopo. Banyak yang tertarik dengan tarian tradisional namun uangnya yang tidak seneng. Kalau masyarakat di Bondowoso itu lebih suka nonton yang gratis-gratis, coba gratis, sanak saudara semua akan hadir untuk nonton. Tapi seandainya disewakan tidak ada yang datang .”


BAB III.

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN


3.1      Keadaan Umum
         Seni rakyat kuda lumping yang semula hanya digemari oleh masyarakat Jawa kini mulai dikenal dan digemari oleh masyarakat luar Jawa. Jathilan yang sangat tradisional kemudian berkembang menjadi tari kuda lumping dengan kreasi baru, membuat kesenian ini menarik untuk dinikmati. Bahkan wisatawan asing pun menggemari. Tari kuda lumping yang sudah sangat dikenal di bumi Nusantara sudah seyogyanya terus dikembangkan. Tari kuda lumping memiliki ciri khas dalam setiap pementasannya yaitu penggunaan kuda tiruan yang terbuat dari anyaman. kesenian ini adalah kesenian yang mempunyai sifat dakwah adalah dapat dilihat dari isi cerita yang ditunjukan oleh karakter para tokoh yang ada dalam tarian Kuda Lumping, tokoh-tokoh itu antara lain para prajurit berkuda, Barongan dan Celengan. Dalam kisahnya para tokoh tersebut masing-masing mempunyai sifat dan karakter yang berbeda, simbul Kuda menggambarkan suatu sifat keperkasaan yang penuh semangat, pantang menyerah, berani dan selalu siap dalam kondisi serta keadaan apapun.
Sifat dari para tokoh yang diperankan dalam seni tari kuda lumping merupakan pangilon atau gambaran dari berbagai macam sifat yang ada dalam diri manusia. Para seniman kuda lumping memberikan isyarat kepada manusia bahwa didunia ini ada sisi buruk dan sisi baik, tergantung manusianya tinggal ia memilih sisi yang mana, kalau dia bertindak baik berarti dia memilih semangat kuda untuk dijadikan motifasi dalam hidup, bila sebaliknya berarti ia memlih semangat dua tokoh berikutnya yaitu Barongan dan Celengan atau babi hutan.




3.2  Keadaan Geografis

     Secara geografis kota Bondowoso terletak 113o48'10" - 113o 48' 26" Bujur Timur dan 7o50' 10" - 7o 56' 41" Lintang Selatan, dengan temperatur tahunan antara 23oC - 30oC. Relief dan topografi Pulau Bali di tengah-tengah terbentang pegunungan yang memanjang dari barat ke timur.
Bondowoso yang beribukota di Bondowoso memiliki luas 1.556 Km2 atau sekitar 3,26% dari luas total Provinsi Jawa Timur, yang terbagi dalam 219 Desa/Kelurahan dan 23 Kecamatan, diantaranya Kecamatan Maesan, kecamatan grujugan, kecamatan Tamanan, kecamatan Jambesari Darusholah, kecamatan Pujer, kecamatan tlogosari, kecamatan sukosari, kecamatan sumber wringin, kecamatan tapen, kecamatan wonosari, kecamatan tenggarang, kecamatan bondowoso, kecamatan curahdami, kecamatan binakal, kecamatan pakem, kecamatan wringin, kecamatan tegalampel, kecamatan taman krocok, kecamatan klabang, kecamatan botolinggo, kecamatan sempol, kecamatan prajekan, dan kecamatan Cermee. Kecamatan yang memiliki daerah terluas adalah Kecamatan Sempol yaitu sebesar 217,20 Km2 dan Kecamatan terkecil yaitu Kecamatan Bondowoso 21,42 Km2.

3.2.1 Batas Wilayah

        Penelitian dilakukan di Kelurahan Kutakulon Bondowoso, Jawa Timur.  Pada penelitian ini penulis terfokus pada satu kelurahan yang  terdapat sanggar tari bernama “Sanggar Pensi”. Sanggar tersebut biasa mengirimkan peserta didiknya untuk pementasan tari, baik sebagai penyambutan tamu penting atau perlombaan tari. Dengan demikian penulis dapat mengetahui perkembangan seni  tari tradisional khususnya “Kuda Lumping” di kawasan Bondowoso secara menyeluruh. Kota Bondowoso terletak di  Pulau Jawa, batas fisiknya adalah sebagai berikut:

·  Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Situbondo dan Kabupaten Probolinggo.
·  Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Situbondo
·  Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Situbondo
·  Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Jember Kabupaten

3.2.2         Keadaan Alam

Seluruh wilayah Kabupaten Bondowoso merupakan daratan, dimana 44,4% wilayahnya merupakan pegunungan dan perbukitan. 30,7% merupakan daratan rendah dan 24,9% merupakan daratan tinggi. Ditinjau dari ketinggiannya Kabupaten Bondowoso berada antara 73m - 3.342m diatas permukaan air laut dengan kondisi antara pantai sampai pegunungan. curah hujan rata rata sebesar 6.475 mm/tahun dengan lama hujan 108 hari pertahun, dimana curah hujan minimum sebesar 1.622 mm terjadi pada bulan juni dan curah hujan maksimum terjadi pada bulan januari sebesar 13.102 mm.
Keadaan alam Bondowoso ikut memberi potensi yang besar sebagai salah satu penyumbang kunjungan dalam pariwisata Jawa Timur, karena di sini terdapat beberapa obyek wisata yang layak dikunjungi seperti, Kawah Ijen, Perkebunan Jampit, Air Terjun Polo Agung dan masih banyak lagi.

3.2.3         Keadaan Penduduk

Jumlah penduduk Kabupaten Bondowoso tahun 2007 sebesar 735.894 jiwa, yang terdiri dari 361.380 jiwa penduduk laki-laki dan 374.514 jiwa penduduk perempuan yang tersebar di 23 kecamatan. Ini mengalami kenaikan dari tahun 2006 sebesar 10.323 jiwa atau sebesar 1,42 %. Jumlah penduduk terbanyak di Kecamatan Bondowoso sebesar 72.714 jiwa dan terendah di Kecamatan Sempol 8.103 jiwa. Angka kepadatan penduduk mencapai 471 jiwa/km2. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Bondowoso tahun 2008 yang terdiri dari empat komponen yaitu angka harapan hidup, angka melek huruf orang dewasa, rata-rata sekolah dan paritas daya beli pada tahun 2008 sebesar 59,54. Meningkat dari tahun 2007 sebesar 59,05. Kecamatan dengan IPM tertinggi yaitu Kecamatan Bondowoso sebesar 68,58, dan IPM terendah di Kecamatan Sumberwringin sebesar 53,23.

3.2.4    Mata Pencaharian

      Sebagian besar pencaharian masyarakat Bondowoso di bidang pertanian. Komoditi unggulan Kabupaten Bondowoso yaitu sektor perkebunan, pertanian, peternakan dan jasa. Sektor Perkebunan komoditi unggulannya adalah Kakao, Tebu, Kopi, Kelapa, Cengkeh, kapuk, Tembakau dan Jambu Mete, sub sektor pertanian komoditinya adalah jagung, kedelai, ubi jalar dan ubi kayu, sub sektor peternakan komoditinya adalah sapi, babi, domba, kambing, dan kuda dan sub sektor jasa yaitu wisata alam dan wisata budaya.

3.2.5    Mobilitas dan Pendidikan

      Pembangunan bidang pendidikan saat ini sedang digalakkan oleh Pemerintah Kabupaten Bondowoso, yang dilakukan dengan cara memperluas dan pemerataan kesempatan masyarakat dalam memperoleh pendidikan. Ini dikarenakan masih adanya penduduk yang tidak tamat sekolah, putus sekolah dan bahkan tidak sekolah. Untuk itu Pemerintah Kabupaten Bondowoso berupaya agar tingkat pendidikan masyarakat meningkat. Mulai dari pemenuhan sarana dan parasarana pendidikan formal hingga penyelenggaraan pendidikan luar sekolah salah satunya dengan Pemberantasan Buta Aksara (PBA), dimana Kabupaten Bondowoso telah dideklarasikan sebagai kabupaten bebas buta aksara oleh Presiden RI dengan diterimanya penghargaan Anugerah Aksara Tingkat Utama dari Presiden Republik Indonesia. Fasilitas pendidikan dasar tersebar di semua kecamatan. Sedangkan untuk pendidikan setingkat SMA sederajat terdapat di hampir semua kecamatan di Kabupaten Bondowoso. Untuk pendidikan tinggi berada di Kecamatan Bondowoso yaitu Universitas Bondowoso, Sekolah Tinggi Agama Islam At Taqwa dan Program Diploma III Keperawatan.




3.2.6    Agama dan Pendidikan

Fasilitas peribadatan tersebar di seluruh Kabupaten Bondowoso. Masjid terbesar di Bondowoso yaitu Masjid Jami’ At Taqwa yang berada di sebelah barat alun-alun Bondowoso. Khusus untuk gereja Katolik, Pura dan Vihara terletak di Kecamatan Bondowoso. Di Kabupaten Bondowoso sebagai salah satu kabupaten tapal kuda tersebar pondok-pondok pesantren dimana jumlah pondok pesantren dan jumlah santri setiap tahun selalu bertambah.

3.2.7    Adat Istiadat

Kesenian Singo Ulung merupakan salah satu kesenian tradisional warisan leluhur Desa Blimbing yaitu Mbah Singo Ulung dan Mbah Jasiman.  Pementasan kesenian Singo Ulung banyak mengandung keunikan-keunikan tersendiri didalamnya, hal ini yang menarik perhatian dari masyarakat yang ada didaerah Blimbing maupun yang ada diluar daerah Desa Blimbing untuk menimati kesakralan dan keindahan dari pertunjukan kesenian singo ulung ini. Antusias masyarakat yang begitu luas ini menarik perhatian pemerintah daerah untuk memberi perhatian lebih terhadap pengembangan kesenian singo ulung ini. Pemerintah Bondowoso menjadikan kesenian singo ulung sebagai sebuah ciri khas kesenian tradisional Kabupaten Bondowoso.



V.PENUTUP


       Sebagai penutup dalam penulisan karya tulis ini, penulis akan menyajikan kesimpulan yang  berhubungan dengan hasil analisis yang telah dibahas dalam bab-bab sebelumnya. Kemudian dari kesimpulan tersebut, penulis akan memberikan saran yang berhubungan dengan masalah diatas.

A.    Kesimpulan
Perkembangan zaman mempengaruhi cara berfikir dan pandangan masyarakat saat ini. Dahulu tari memiliki hubungan dengan mistis dan kepercayaan budaya yang kenal. Namun, kini seni tari lebih mengarah pada hiburan masyarakat pada umumnya.

B.     Saran
·         Hendaknya pemerintah lebih memperhatikan perkembangan seni tradisional sehingga tetap terjaga kemurniannya.
·         Mulai memperkenalkan seni dan budaya pada generasi muda baik secara formal maupun non formal.









DAFTAR PUSTAKA

www. MATERI KULIAH/Semester 3/Metode Penelitian Ilmiah/Contoh penelitian TARI.com
www.Metode Penelitian Ilmiah/Contoh Karya Tulis - NgeblogBareng.com
www.KUDA LUMPING SIMBOL PERLAWANAN TERHADAP ELIT, BUDAYA YANG TERPINGGIRKAN.com
www.Jatiran ( Jaran Kepang) _ Kebudayaan Indonesia.com
www.Etnografi Kuda Lumping Jalanan.com
www.Metode Penelitian Ilmiah.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar